MANUSIA DAN KEBUDAYAAN: RELASI MANUSIA

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. 1.      Hubungan Timbal Balik Antara Manusia dan Kebudayaan
    1. a.      Budaya

Budaya merupakan sebuah refleksi tentang manusia. Karena budaya sangat erat kaitannya dengan 3 dimensiu manusia, yakni cipta, rasa dan karsa. Bila berbicara tentang budaya, mau tidak mau kita akan menyentuh tentang tradisi, adat istiadat, kebiasaan, yang semuanya itu tentunya bersentuhan dengan manusia. [1]Manusia dan budaya adalah dua unsur yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sebab kebudayaan merupakan sesuatu yang sangat luhur dan berharga dalam seluruh panggilan manusia. (bdk. LG 57)

Budaya adalah segala sesuatu yang bisa dilakukan dan menunjukkan kemanusiaan seseorang. Seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa kebudayaan merupakan sesuatu yang luhur dan berharga, tentunya kebudayaan berada pada taraf yang seharusnya diagungkan. Dengan kata lain, budaya adalah aktivitas manusia yang selalu mengarah pada sesuatu yang baik.

Namun, budaya akan menjadi indah bila berada pada tempatnya. Misalnya masyarakat di daerah Kalimantan memiliki kebiasaan minum arak pada saat upacara adat. Disitu, kebudayaan menjadi indah. Berbeda bila dengan alasan yang sama sebagai masyarakat Kalimantan, seseorang menjadi kecanduan minuman keras dan mengatasnamankan kebudayaan di daerahnya. Hal ini dapat memberikan image yang buruk bagi kebudayaan. Orang-orang semacam ini secara langsung telah melukai keluhuran kebudayaan.

 

  1. b.      Manusia dan Kebudayaan
  • Manusia Menciptakan Kebudayaan

Dikatakan bahwa manusia menciptakan kebudayaan karena hanya manusia yang dapat menciptakan kebudayaan. Seperti yang kita ketahui, bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang dirancang dan dipikirkan untuk kepentingan sekelompok orang demi mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa kebudayaan lahir dari rasio yang hanya dimiliki manusia.

[2]Manusia harus menciptakan kebudayaan. Sebab tanpa kebudayaan, manusia menjadi makhluk yang tidak berbudaya dan akan menjadi korban dari keadaannya yang tidak lengkap.

Budaya adalah tindakan sadar manusia yang dapat berubah dan berkembang sesuai kebutuhan manusia tersebut. Sehingga kebudayaan terus menerus mengiringi kehidupan manusia.

 

  • Manusia Diciptakan oleh Kebudayaan

Dikatakan bahwa manusia diciptakan oleh kebudayaan karena manusia menjadi manusia melalui kebudayaan. Manusia berkembang didalam dan oleh kebudayaan.

Kebudayaan memang merupakan hasil pemikiran manusia. Namun kebudayaan ini juga secara tidak langsung membentuk manusia-manusia baru dengan pola pikir dan sikap yang baru pula.

Misalnya, seorang anak yang masih polos, memiliki pemikiran-pemikiran yang jernih dan baik. Bila ia tinggal dan dididik di dalam lingkungan yang sebagian besar masyarakatnya adalah orang-orang berwatak keras dan tingkah lakunya kasar, anak ini pun seiring perkembangannya akan memiliki pola pikir yang cenderung kasar dan keras. Sama halnya bila seorang anak yang kebiasaan orang tuanya saling memaki satu sama lain, tanpa diajari pun anak ini secara perlahan akan mengikuti kebiasaan yang dimiliki oleh penghuni rumah itu. Dengan sendirinya ia akan mulai memaki orang lain dan berkata-kata kasar.

 

  1. 2.      Keanekaragaman Budaya

Sudah diketahui sebelumnya bahwa kebudayaan ada karena manusia memiliki rasio yang melekat pada setiap individu. Karena rasio itulah manusia menjadi unik. Tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, tidak heran apabila ada banyak kebudayaan yang mengiringi kehidupan manusia.

Setiap individu pasti memiliki kebudayaannya sendiri dan berbeda satu sama lain. Perbedaan ini akhirnya menciptakan kebudayaan-kebudayaan baru demi kepentingan hidup bersama.     

Berbagai kebudayaan hasil permenungan masyarakat menjadi budya bersama dalam suatu wilayah yang menjadi ciri masyarakat tersebut. Memang ada berbagai kebudayaan yang menggambarkan keseragaman demi kepentingan komunitas seperti ini. Tapi jangan sampai keseragaman ini menghilangkan ke-khas-an masing-masing individu dalam komunitas tersebut. Melalui keseragaman budaya itu, setiap orang harus tetap dapat mengungkapkan dirinya sebagai manusia yang unik.

 

 

 

  1. 3.      Hakikat Budaya

Berbicara tentang hakikat kebudayaan sebenarnya sama dengan membicarakan hakikat manusia. Kenapa? Karena kebudayaan berasal dari manusia. Tapi manusia sendiri menciptakan kebudayaan karena adanya rasio.

                                                         

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM

 

  1. 1.      Manusia dengan Alam

Manusia berada di dalam alam dan hidup dalam ruang dan waktu. Disana, manusia hidup dengan sangat terbatas. Dalam kehidupannya, manusia mutlak memerlukan alam (lingkungan).

Relasi antara manusia dengan alam merupakan suatu pola relasi yang khas dan unik. Artinya, pola relasi ini hanya dimiliki oleh manusia itu, tidak dimiliki oleh makhluk lain. Pola ini lain dengan pola relasi antara hewan dengan alam ataupun pola relasi tumbuhan dengan alam.

Relasi antara manusia dengan alam terjadi dalam sebuah kesadaran, yang harus disadari dan dikembangkan. Hal ini karena manusia bebas. Tidak terikat oleh alam. Manusia sebagai makhluk yang mempunyai akal budi, hendaknya mengembangkan relasinya dengan alam agar dapat bertahan hidup. Jadi tugas manusia adalah mengembangkan rasionya.

Manusia memiliki rasio dan kebebasan. Kedua hal ini membedakan manusia dari hewan dan tumbuhan. Kebebasan ada karena adanya rasio. Rasio membuat orang bisa memilih kemungkinan yang ada. Bebas itu berarti memiliki tujuan dan diikuti pertanggungjawaban.

Sedangkan hewan melakukan segala sesuatu bukan karena dia bebas, melainkan karena ia dapat melakukannya. Dan sudah kodratnya seperti itu. Hewan melakukan sesuatu karena didorong kebutuhannya. Karena dia terikat dengan kebutuhan itu yang mengharuskan dia berbuat demikian.

Alam mencapai kesempurnaannya di tangan manusia. Karena manusia menggunakan rasionya untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan fungsi alam raya ini. Dengan demikian, alam menjadi berguna ketika ia mendapat sentuhan tangan manusia dengan tujuannya.

  1. 2.      Kerja

Tidak ada hal di dunia ini yang belum disentuh oleh manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa kita hidup di dalam dunia yang sudah tidak asli lagi, tidak perawan lagi. Hal ini karena manusia bekerja. Dunia ini tidak akan pernah berhenti. Terus menerus dibangun. Karena selama hidupnya, manusia masih terus menerus bekerja.

Kerja pada prinsipnya adalah suatu kegiatan yang direncanakan. Dengan pemikiran khusus demi pembangunan dunia dan sekaligus perkembangan hidup manusia. Hanya manusialah yang dibentuk,  diciptakan dan diberi kebebasan untuk menentukan lingkungannya sendiri.

Kerja itu membuat manusia menjadi manusia. Ciri khas manusia. Karena dengan bekerja, manusia menjadi semakin memanusia. Jadi, sesungguhnya kerja itu adalah gejala yang sungguh manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada istilah bekerja. Hal ini pertama-tama karena mereka tidak memiliki rasio. Kedua, karena hewan tidak menentukan lingkungannya.

Dengan bekerja, manusia mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya. Manusia menggunakan rasionya dan merealisasikannya dalam bentuk materi. Proses inilah yang disebut sebagai “kerja”. Jadi, kerja dapat pula diartikan sebagai jembatan penghubung antara rasio dan materi. Sehingga di dalam setiap benda buatan manusia tertempellah rasionya.

Manusia merupakan makhluk yang punya dua sisi. Jasmani dan rohani. Dan dia mengungkapkan kerohaniannya itu dalam bentuk materi. Singkatnya, manusia harus bekerja untuk menentukan dunianya. Tanpa bekerja, dia tidak dapat menciptakan sesuatu sesuai kebutuhannya. Dan dia akan mati. Bekerja itu suatu keharusan, kewajiban bagi manusia. Salah satu cirri manusia adalah bekerja. Bekerja itu adalah sesuatu yang sangat esensial bagi manusia. Melekat dalam diri manusia. Tetapi dalam kenyataannya, orang tidak menghayati kerja dalam konteks ini.

Ada 3 sudut pandang mengenai kerja:

  1. Kerja sebagai sarana
  2. Kerja sebagai nasib
  3. Kerja sebagai bentuk pengungkapan diri manusia.

 

2.1.              Kerja sebagai sarana

Orang bekerja dan dia merasa kerja itu bermakna, sejauh menghasilkan sesuatu. Orang-orang semacam ini adalah orang yang tidak melihat kerja pada dirinya sendiri sebagai sesuatu yang positif. Mereka tidak memandang kerja sebagai penugasan ilahi. Padahal kerja memiliki nilai yang sangat luhur.

Orang-orang ini pada akhirnya bekerja karena terpaksa. Kerja dihayati sebagai beban. Sehingga godaan untuk malas sangat besar. Orang-orang semacam ini hidup dalam tekanan. Dan mereka tidak akan bekerja secara maksimal. Akibatnya, banyak orang tidak menikmati pekerjaannya.

 

2.2.              Kerja sebagai nasib

Orang menghayati bekerja sebagai nasib, karena dia beranggapan bahwa dirinya sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi selain itu. Karena ia merasa sebagai bawahan yang hanya bekerja sturut perintah tuannya. Seperti sistem kasta di Bali. Kasta yang paling bawah (sudra), harus menerima nasib untuk bekerja kasar. Tanpa memandang peluang-peluang yang ada.

Orang memandang kerja sebagai nasib bawaan. Orang yang menghayati kerja seperti ini tidak akan pernah berkembang dalam hidupnya.

Salah satu yang menjadikan Indonesia tidak maju adalah karena banyak sarjana yang hanya menunggu panggilan kerja. Tanpa usaha untuk melakukan pekerjaan itu sendiri. Pekerjaan itu tidak perlu dicari. Tetapi diciptakan dan dikerjakan.

Pendidikan di Indonesia menjadi rendah karena orang-orang yang bekerja di dalamnya banyak yang menghayati kerja sebagai nasib, sebagai beban. Padahal menjadi guru harus mempunyai jiwa kepemimpinan yang kuat. Minimal pada saat dia mengajar di dalam kelas. Bikan jiwa pelaksana, yang hanya asal masuk kelas karena sudah diatur demikian. Tanpa ada greget untuk membagikan sesuatu yang berharga kepada murid.

 

2.3.              Kerja sebagai bentuk pengungkapan diri manusia

Seperti yang kita ketahui bahawa manusia itu unik, maka ia harus menunjukkan keunikannya itu. Bekerja sesungguhnya merupakan sarana sarana untuk menunjukkan diri. Tentunya ini ditunjukkan dalam pekerjaannya, kualitas kerjanya dan cara kerjanya. Jadi hasil pekerjaan manusia itu sebagai perwujudan atau pengaktualisasian atas dirinya sendiri. Dari sana pula kita dapat mengenal bagaimana kepribadian seseorang.

 

  1. 3.      Waktu Senggang

Waktu senggang selam ini kerap dipandang secara negatif, sebagai waktu kosong, waktu istirahat. Karenanya waktu senggang sering dilawankan dengan waktu kerja. Sesungguhnya waktu senggang sama derajatnya dengan waktu kerja. Bahkan, kalau ditimbang pun, bobotnya lebih berat waktu senggang.

Persamaanya, baik di waktu kerja maupun di waktu senggang, manusia sama-sama menyatakan diri, mengungkapkan diri, mengaktualisasikan diri. Bedanya, pada waktu kerja, orang mengungkapkan diri berdasarkan sebuah kontrak. Dia terikat oleh aturan, target dan kesepakatan. Juga harus menyesuaikan dengan kemauan orang lain. Dengan kata lain, pengungkapan diri pada waktu kerja sangat terbatas.

Sedangkan pada waktu senggang, kita dapat mengungkapkan diri dengan seluas-luasnya. Tidak dibatasi siapapun. Sehingga diri kita benar-benar terlihat dalam pengungkapan diri kita itu. Waktu senggang bisa dipakai untuk mengungkapkan diri melalui hobi.

Sesungguhnya, aktivitas yang dilakukan pada waktu senggang ini seharusnya lebih berbobot. Karena dilakukan dengan kebebasan penuh, tanpa kontrak, tanpa ikatan. Waktu senggang tetap mempunyai nilai yang lebih tinggi walaupun jamnya lebih sedikit daripada waktu kerja.

 

  1. 4.      Aspek Sosial kerja dan Waktu Senggang

Orang bekerja itu selalu untuk orang lain. Maka dengan bekerja, sesungguhnya seseorang itu sedang membangun (keluarganya, kelompoknya, bahkan masyarakat banyak).

Jadi dengan bekerja sesungguhnya terselip makna ketergantungan. Saling melengkapi, saling menyumbangkan apa yang dimiliki untuk orang lain. Dan sesungguhnya ini adalah dasar hidup bersama. Yakni saling membantu dan saling berbagi.

Tapi kalau ada yang tidak bekerja, artinya dia menjadi parasit bagi orang lain. Tanpa bekerja, kita hanya mencuri jerih payah orang lain.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

RELASI MANUSIA DENGAN MANUSIA (SESAMANYA)

Tentang Memberi dan Menerima dalam Kehidupan Sosial

 

Kita menjadi dewasa, berkembang dan semakin berkualitas karena kita hidup berdampingan dengan orang lain. Hidup bersama orang lain dan apapun yang berada di luar diri kita adalah sebuah keharusan yang tidak bisa kita hindari. Rasa saling membutuhkan semakin kelihatan dengan adanya aturan-aturan hidup bersama. Agar kebutuhan setiap orang dapat terpenuhi secara adil. Tidak merugikan orang lain.

Hidup sosial atau hidup bersama orang lain adalah cirri hakiki manusia. Orang lain mempengaruhi hidup dan tingkah laku kita sejauh dia sama-sama manusia seperti kita.

Sifat manusia pada umumnya adalah sosial. Yakni sikap terbuka untuk menghadapkan diri pada orang lain. Supaya orang lain melihat siapa aku, dan biarlah orang lain sebagai cermin bagi diriku. Dengan demikian manusia harus bertemu dengan orang diri pada orang lain. Menunjukkan lain.

Sosial penting, karena kita butuh orang lain untuk saling mengisi. Konsep ini lemah. Konsep ini membangun model kelas sosial yang bersifat represif. Seseorang dibangun dalam konsep bahwa ia harus selalu menerima. Maka yang terjadi adalah ”sikap relasiku dengan orang lain adalah demi kepentinganku. Sesungguhnya dalam hubungan dengan orang lain aku hanya mencintai diriku”. Bila manusia dibangun dalam konsep ini, maka hidup sosial akan menjadi rapuh. Karena konsep ini akan memupuk egoisme; membangun rasa sosial kontrak, yaitu hubungan sosial yang terjadi hanya sejauh hubungan itu dapat mengisi kekurangan dan memuaskan egoisme saja, dan ketika semua itu tak terpenuhi lagi, maka kontrak selesai; memandang atau orang lain sebagai objek atau benda; membangun citra diri manusia yang negatif.

Selain konsep represif, ada pula konsep kontributif yaitu konsep hidup sosial yang mengacu pada pemberian. Dalam hubungan sosial, orang cenderung berorientasi pada apa yang dapat diberikan kepada orang lain daripadanya. Prinsipnya, apa yang dapat diberikan kepada orang lain, yang tidak dapat diperoleh selain dari aku. Hal ini kembali lagi karena keunikan manusia. Suatu hal yang sama pun, akan diterima secara berbeda jika berasal dari orang yang berbeda. Karena dalam member ini pun manusia mengeluarkan ke-khas-annya sebagai manusia. Jadi, menerima itu dianggap sebagai konsekuensi dari memberi. Memberi dulu, maka akan terjadi sebuah penerimaan. Yang diberikan ini bukan kebutuhan orang lain, melainkan apa yang unik dari saya.

Relasi secara kongkret dapat temukan dalam hidup sehari-hari. Dan secara intensif ditemukan dalam hubungan 2 orang (suami-istri). Dua orang yang saling mencintai. Bahkan sudah dipersatukan oleh Allah dan tidak boleh dipisahkan oleh manusia.

Pada umumnya, kadang-kadang orang berpendapat bahwa perkawinan itu untuk memuaskan kebutuhan biologis. Agar hubungan dalam rangka itu menjadi sah. Hal ini mengesankan bahwa perkawinan hanya untuk melegitimasi hubungan seksual. Karenanya pada titik tertentu, hubungan ini menjadi melelahkan. Mencapai titik jenuh. Dan akhirnya, alasan yang paling sering digunakan untuk berpisah adalah karena tidak ada lagi kecocokan diantara pasutri tersebut. Sebenarnya hal itu karena penghayatan masing-masing pasangan atas makna relasi yang dibangun oleh atau diantara mereka berdua.

Perkawinan itu terjadi karena tuntutan relasi sosial. Dan manusia sendirilah yang menentukan relasi sosial itu. Bagaimana bentuk relasi itu dan mau dibuat bagaimana relasi sosial itu. Namun di pihak lain, manusia juga dibentuk oleh makna relasi yang dihayatinya.

Dalam perkawinan, relasi represif tidak akan membuat orang berkembang. Pasutri akan sibuk sendiri dengan dirinya masing-masing. Keintiman pasutri hanya terjadi ketika mereka membutuhkan sesuatu dari pasangannya. Rumah hanya akan menjadi tempat singgah. Anak-anak hanya dipandang sebagai beban. Relasi seperti ini memberikan makna perkawinan sebagai lembaga egoisme.

Sedangkan perkawinan dalam relasi yang kontributif berkembang dalam konsep dan pemahaman bahwa tiap-tiap orang adalah makhluk yang berkesadaran, berkemauan. Setiap orang berkeyakinan bahwa dia bisa member sesuatu untuk dirinya dan pasangannya. Relasi inilah yang ideal dan didambakan. Prinsipnya, memberikan diri untuk orang lain, yakni bahwa pasangannya tidak akan mendapat dari orang lain selain darinya. Di dalam rutinitas hidup, dia selalu melihat sesuatu yang baru. Pasutri mampu menjadi pribadi yang baru dan menawan satu sama lain. Sehingga tidak ada kebosanan. Dengan demikian relasi perkawinan mereka selalu menawan. Keluarga yang dibangun dalam relasi model ini memungkinkan menjadi keluarga yang tangguh dalam menghadapi terpaan masalah zaman ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

RELASI MANUSIA DENGAN TUHAN

Pencitraan Manusia tentang Tuhan

 

  1. 1.      Citra Tuhan

Di dalam diri ini dapat berubah-ubah. Meskipun demikian, Tuhan sendiri adalah abadi, manusia ada lukisan atau gambaran yang dimiliki tentang Tuhan. Penggambaran Tuhan menurut manusia tidak berubah-ubah. Hanya pandangan manusia saja yang berubah.

Ada 2 citra manusia tentang Tuhan yang mencolok dalam hidup beragama:

  1. Citra statis          : hampir semua agama sepakat bahwa ada citra Tuhan yang tetap, tidak berubah. Yaitu citra bahwa Tuhan itu baik.
  2. Citra dinamis     : citra manusia tentang Tuhan berubah ubah sesuai dengan pola pikir dan perkembangan kehidupan manusia.

 

  1. 2.      Tuhan Baik: Dipandang dari Sisi Kejahatan, Penderitaan dan Kematian

Dalam menghadapi kejahatan, penderitaan dan kematian manusia hanya bertugas untuk menerima. Tuhan tetap baik, apapun yeng terjadi dengan dunia ini. Ada 3 pandangan yang membahas tentang topik ini.

 

  1. Kejahatan, penderitaan dan kematian harus kita terima sebagai realitas.

Kejahatan, penderitaan dan kematian adalah suatu bagian dari hidup. Tidak ada hal di muka bumi ini yang tidak bermakna. Semua yang dirancang Tuhan mempunyai maknanya sendiri untuk hadir di muka bumi ini.

Dengan menerima fenomena-fenomena ini sebagai fakta, manusia mengakui bahwa di balik semua itu ada Tuhan. Ada makna yang tersembunyi. Jadi, meskipun fenomena ini membawa kekecewaan dan kepahitan, kita tidak jatuh pada keputusasaan dan menyalahkan Tuhan. Seakan-akan Tuhan biang keladi semua penderitaan hidup. Dengan menerimanya, manusia masih dapat melihat sisi positif dari peristiwa tersebut.

Tuhan tidak menghendaki manusia secara sengaja menciptakan kejahatan itu. Kejahatan, penderitaan, dan kematian diperlukan untuk memainkan peran antagonis agar tercipta kebaikan yang lebih besar. Logikanya, kalau semua baik, maka kebaikan itu tidak akan pernah terlihat. Oleh karena itu Tuhan membiarkan kejahatan itu ada supaya kebaikan lebih bersinar.

 

  1. Kejahatan, penderitaan dan kematian bukanlah hukuman Tuhan.

Dalam kenyataan hidup masyarakat, sepertinya ada kesepakatan umum bahwa kejahatan, penderitaan dan kematian adalah bagian dari hukuman Tuhan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari manusia sering menyerah dan menganggap semua ini kehendak Tuhan. Namun dalam pengalaman pahit ini memiliki unsur yang mendidik bagi kehidupan manusia. Seolah-olah pengalaman pahit ini mengingatkan manusia untuk menjadi lebih baik lagi. Seakan-akan Tuhan mendidik kita melalui pengalaman kejahatan, penderitaan dan kematian. Dan bila kita mau membuka pikiran kita, memang begitu adanya.

Walau pun manusia menganggap pengalaman pahit itu sebagai hukuman Tuhan yang mendidik, Tuhan tetap adil dan baik. Tuhan tahu bahwa kita mampu mengatasi peristiwa tersebut dan tetap membantu dan mendampingi kita.

Manusia menganggap peristiwa pahit ini sebagai misteri keadilan Tuhan. Dan kita pun sebenarnya tidak tahu seperti apa sebenarnya kebaikan dan keadilan Tuhan itu secara sungguh-sungguh. (untuk gambaran yang lebih jelas dapat membaca Kitab Ayub)

 

  1. Kejahatan, penderitaan dan kematian itu tergantung pada kebebasan manusia.

Pandangan ini seolah olah mau membebaskan Tuhan dari tuduhan yang kurang baik. Karena pada umumnya, ketika menghadapi pengalaman pahit seperti ini manusia lebih dulu akan menyalahkan Tuhan atas apa yang menimpanya.

Manusia memiliki kebebasannya sendiri, dan Tuhan menghargai kekbebasan itu. Ini mengesankan seolah-olah Tuhan tidak berupaya menghalangi kehendak bebas manusia, yang mengandung unsur destruktif.

Pikiran ini berasal dari pendapat bahwa semua hal yang baik dan buruk berasal dari kehendak Tuhan. Segala sesuatu sudah diatur oleh Tuhan. Padahal, Tuhan bukannys tidak campur tangan dalam perbuatan manusia yang destruktif itu. Tuhan menyertai kita sampai akhir zaman. Dia selalu hadir, namun Dia tidak agresif. Ia hanya menawarkan, dan manusia sendririlah yang menentukan mau bagaimana hidupnya.

 

 

 

 

 

 

 

SUMBER BAHAN

 

Narasumber: Hipolitus K. Keweul dalam kuliah Ilmu Budaya Dasar

Kewuel, Hipolitus K. dan Gabriel Sunyoto. 2010. 12 Pintu Evangelisasi: Menebar Garam di Atas Pelangi. Madiun: Wina Press.


[1] Agustinus Supriyadi dalam artikelnya “Evangelisasi dalam Konteks Budaya” dalam buku Menabur Garam di atas Pelangi. Hal. 38.

[2] Agustinus Supriyadi dalam artikelnya “Evangelisasi dalam Konteks Budaya” dalam buku Menabur Garam di atas Pelangi. Hal. 35

Tinggalkan komentar